Sabtu, 15 Desember 2018

Violet Evergarden review



Holla everybody! It’s yo’ boi, He-He! (Anjay sok hip hop ane hehehehe…)

Well, ada lagi satu seri yang mimin mau review, dan dari awal banyak menaruh harapan pada anime satu ini. Yah, karena NetFlix dan Kyoto Animation sendirilah yang ikut andil dalam penggarapan seri ini. Tapi, apakah hasilnya memuaskan? Sekarang mimin langsung aja me-review Violet Evergarden.



Perang besar yang terjadi di benua Telesis berakhir dan menuju ke arah kedamaian. Setelah sembuh dari lukanya, seorang mantan (alat) prajurit, Violet Evergarden, mulai bekerja sebagai boneka kenangan otomatis yang bertugas sebagai penulis surat untuk klien atas ajakan atasannya yang dulunya adalah seorang kolonel, Claudia Hodgins. Seiring perjalanannya bertemu dengan rekan dan klien yang baru, Violet pun mulai memahami arti dari kata “aku mencintaimu” yang diucapkan Mayor Gilbert Bougainvillea sebelum ia menghilang.



Yup, seperti biasa mimin mulai dari jalan cerita. Alur dalam seri ini sendiri berlangsung cukup lambat, tapi tidak begitu membuat kita ngantuk. Hampir setiap episodenya Violet selalu bertemu dengan orang-orang baru dengan cerita mereka masing-masing, yang juga ikut andil dalam membangun perasaan Violet sendiri yang “kaku”, ditambah rasa sakitnya setelah ditinggal sang mayor. Well, I think there’s no problem with the storyline. Btw, episode favorit ane episode 10, saat adegan terakhir dimana dalam angan-angan, Anne Magnolia akan menerima surat dari ibunya yang ditulis Violet setiap tahunnya selama 50 tahun. Saking terharunya mimin sampe mewek-mewek di kamar. Untung aja pas pada udah tidur. Kalo laki ketahuan nangis diledekin malahan. Hehehe…. Kalo untuk kejutan-kejutan tertentu (plot twist), mimin tidak menemukannya, sih. Mungkin lebih ke “Wah, Violet ketemu siapa lagi, ya? Nanti nulis surat apaan lagi, ya?”


Untuk pengembangan karakter, mimin merasa seolah-olah sedang membaca novel. Semua karakter yang berinteraksi dengan Violet mengalami dampak tertentu, tetapi perkembangan terhadap perasaan Violet sendrilah yang menjadi fokus utama dalam cerita; Di setiap episodenya, Violet yang pertama kali menulis dengan sangat terang-terangan (nulis seadanya aja) pun akhirnya bisa menulis bak pujangga sejati. Mimin rasa tema seri ini sendiri hampir kayak Beatless, berusaha memanusiakan yang bukan manusia. But, I prefer Violet Evergarden, tho.



Sekarang kita ke audio. Yup, mimin hampir tidak bisa berkata apa-apa untuk score yang mengisi setiap adegan dalam seri ini. Saat nonton mimin serasa hidup di Inggris, saat perang dunia pertama berakhir. Untuk opening dan ending, mimin lebih suka yang ending sih, karena musik dengan nyanyian dan piano membuat “European’s feel”-nya lebih dapet. Well, there’s no flaw on audio.


Yang terakhir, tentu saja visual. Seperti yang kita ketahui, terutama wibu bau bawang penggemar anime kelas berat, Kyoto Animation hanya merilis dua projek setia[ tahunnya. Jadi, dengan waktu sebanyak itu, penggarapan setiap adegannya pun akan terasa maksimal. So, mimin benar-benar speechless untuk visual dari seri ini. Pemilihan warna yang cukup jeli, desain karakter dan latar tempatnya kayak lagunya Ed Sheeran, Perfect!



Yup, mungkin segitu aja yang bisa mimin bagikan. Kalo teman-teman ada yang punya pendapat berbeda bisa komen di bawah. Overall, mimin kasih 84/100 aja, deh. Memanjakan mata, menyentuh perasaan, dan kayaknya itu sih yang bisa mimin rasain. Kalo gitu, mimin mau tutup dulu, nih! Sampai jumpa di artikel selanjutnya!

Hehehehehehe….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar